Masyarakat Gwangju, Korea Selatan, adalah masyarakat yang besar karena pergerakan demokrasi. Di tempat ini, pada 18 May 1980 terjadi gerakan rakyat melawan pemerintah secara besar-besaran. Saat itu, warga Gwangju menentang pasukan militer di bawah pimpinan Jenderal Cheon Do Hwan, dan Presiden Roh Tae Woo yang akan memberlakukan Konstitusi Yushin (Martial Law) di Gwangju. Akibatnya sekitar 660 masyarakat sipil tewas diterjang timah panas saat melakukan demo di jalanan utama
Kini penduduk Gwangju memiliki tradisi sendiri dalam menyebarkan semangat dan napak tilas gerakan 18 May. Setiap peringatan itu selalu ditandai dengan berbagai festival yang menggambarkan perjuangan dan kejadian berdarah di Gwangju. Mereka sekuat tenaga untuk membantu satu sama lain yang mengalami kesulitan. Salah satu bentuk kepedulian dan bantuan adalah membagikan "nasi kepal" kepada seluruh warga Gwangju.
Keluarga-keluarga dengan perekonomian yang tergolong mampu memasakkan "nasi kepal" untuk warga satu kota Gwangju. Keluarga yang kurang mampu bertugas untuk membagikan nasi kepal ini saat festival. Mereka memastikan tidak ada satupun warga yang terlewat mendapatkan "nasi kepal" ini.
Tradisi ini amat dijaga oleh warga Gwangju, karena "Nasi Kepal" adalah lambang perjuangan mereka saat pergerakan. Para pendahulu mereka yang berperang melawan militer memasak "nasi kepal" untuk ransum para pejuang. Padahal saat itu, Gwangju merupakan kota termiskin di Korea Selatan. Tapi kini, setelah perjuangan 18 May terjadi, Gwangju menjadi kota termaju dari 5 kota terbesar di Korea. Bahkan, Gwangju memiliki bandara internasional sendiri.
Satu tokoh terkenal yang lahir di kota ini adalah Presiden Kim Dae Jung. Saat pergerakan di Gwangju terjadi, Dae Jung-lah orang yang memimpin perlawanan baik secara gerilya maupun politik terhadap Jenderal Cheon Doo Hwan dan Presiden Roh Tae Woo. Ia hampir dihukum mati dan dibunuh dua kali oleh rezim. Setelah perang sipil dan militer di Gwangju berakhir, Dae Jung naik menjadi Presiden.
Di bawah kepemimpinan Kim Dae Jung, selama dua periode, Korea Selatan dan Korea Utara hampir saja mengakhiri perang saudara. Dae Jung-lah satu-satunya presiden Korea Selatan yang mampu membujuk Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Il untuk duduk satu meja dan melakukan perundingan. Tidak heran bila Ia diganjar nobel perdamaian karena kebijakan "Sunset Policy" untuk saudara tuanya Korea Utara.